GURU MARZUKI DAN SYEKH ALI AL-MALIKI
(Upaya melacak jaringan Ulama KH. Noer Alie)
Penulis : H. Irfan Mas'ud, MA*)
KH. AHMAD MARZUKI AL-BETAWI
(1293 – 1353 H/1876 – 1934 M)
Nama lengkap beliau adalah “Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman al-Batawi”. Ulama terkemuka asal Betawi yang bermazhab Syafi’i dan populer dengan sebutan Guru Marzuki ini lahir dan besar di Batavia (Betawi). Ayahnya, Syekh Ahmad al-Mirshad, merupakan keturunan keempat dari kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang berhijrah ke Batavia. Guru Marzuki dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 1293 H/1876 M di Meester Cornelis, Batavia.
Masa Pertumbuhan dan Menuntut Ilmu
Pada saat berusia 9 tahun, Guru Marzuki ditinggal wafat ayahnya. Pengasuhannya pun beralih ke tangan ibunya yang dengan penuh kasih sayang membina sang putra dengan baik. Pada usia 12 tahun, Marzuki dikirim oleh sang ibu kepada seorang ahli fikih bernama Haji Anwar untuk memperdalam Al-Qur'ân dan ilmu-ilmu dasar bahasa Arab. Guru Marzuki kemudian melanjutkan pelajarannya mengaji kitab-kitab klasik (turats) dibawah bimbingan seorang ulama Betawi, Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Melihat ketekunan dan kecerdasan Marzuki-muda, sang guru pun merekomendasikannya untuk berangkat ke Mekah al-Mukarramah guna menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Guru Marzuki yang saat itu berusia 16 tahun pun kemudian bermukim di Mekah selama 7 tahun.
Guru-guru di Haramain
Selama tidak kurang dari 7 tahun, hari-harinya di Tanah Suci dipergunakan Guru Marzuki dengan baik untuk beribadah dan menimba ilmu dari para ulama terkemuka di Haramain. Ulama Haramain yang sempat membimbing Guru Marzuki, antara lain: Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan al-Madani (w. 1329 H.), Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami (w. 1354 H.), Syekh Abdul karim al-Daghistani, Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bogori (w. 1349 H), Syekh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi (w. 1337 H.), Syekh Umar al-Sumbawi, Syekh Mahfuzh al-Termasi (w. 1338 H.), Syekh Sa’id al-Yamani (w. 1352 H), Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi (w. 1331 H.), Syekh Muhammad Ali al-Maliki (w. 1367 H.) dan lain-lain.
Ilmu yang dipelajarinya pun bermacam-macam, mulai dari nahwu, shorof, balaghah (ma‘ani, bayan dan badi‘), fikih, ushul fikih, hadits, mustholah hadits, tafsir, mantiq (logika), fara’idh, hingga ke ilmu falak (astronomi). Dalam bidang tasawuf, guru Marzuki memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-‘Alawiyah dari Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi (w. 1331 H.) yang memperoleh silsilah sanad tarekatnya dari Syekh Ahmad Zaini Dahlan (w. 1304 H/1886 M.), Mufti Syafi’iyyah di Mekah al-Mukarramah.
Dalam disertasi doktoralnya di Fak. Darul Ulum, Cairo University (hal. 63 – 66), Daud Rasyid memasukkan Guru Marzuki sebagai salah seorang pakar hadits Indonesia yang sangat berjasa dalam penyebaran hadits-hadits nabi di Indonesia dan menjaga transmisi periwayatan sanadnya.
Sistem Mengajar dan Para Muridnya
Sesudah kembali ke tanah air, atas permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki mengajar di masjid Rawabangke selama lima tahun, sebelum pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Santri yang mondok di sini memang tidak banyak, ditaksir sekitar 50 orang dan terutama datang dari wilayah utara dan timur Jakarta (termasuk Bekasi).
Cara mengajar Guru Marzuki kepada muridnya tidak lazim di masa itu, yaitu sambil berjalan di kebun dan berburu bajing (tupai). Ke mana sang guru melangkah, ke sana pula para murid mengikutinya dalam formasi berkelompok. Setiap kelompok murid biasanya terdiri dari empat atau lima orang yang belajar kitab yang sama, satu orang di antaranya bertindak sebagai juru baca. Sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setiap satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang belajar kitab lain lagi menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya.
Mengajar dengan cara duduk hanya dilakukan oleh Guru Marzuki untuk konsumsi masyarakat umum di masjid. Meskipun demikian, anak-anak santrinya secara bergiliran membacakan sebagian isi kitab untuk sang guru yang memberi penjelasan atas bacaan muridnya itu. Para juru baca itu kelak tumbuh menjadi ulama terpandang di kalangan masyarakat Betawi dan sebagian mereka membangun lembaga pendidikan yang tetap eksis sampai sekarang, seperti KH. Noer Alie (pendiri Pesantren Attaqwa, Bekasi), KH. Mukhtar Thabrani (pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi), KH. Abdul malik (putra Guru Marzuki), KH. Zayadi (pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender), KH. Abdullah Syafi’i (pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Jatiwaringin), KH. Ali Syibromalisi (pendiri Perguruan Islam Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta), KH. Abdul Jalil (tokoh ulama dari Tambun, Bekasi), KH. Aspas (tokoh ulama dari Malaka, Cilincing), KH. Mursyidi dan KH. Hasbiyallah (pendiri perguruan Islam al-Falah, Klender), dan ulama-ulama lainnya. Selain KH. Abdul Malik (Guru Malik), putera-putera Guru marzuki yang lain juga menjadi tokoh-tokoh ulama, seperti KH. Moh. Baqir (Rawabangke), KH. Abdul Mu’thi (Buaran, Bekasi), KH. Abdul Ghofur (Jatibening, Bekasi).
Guru Marzuki dan Jaringan Ulama Betawi
Dalam kajian Abdul Aziz, MA., peneliti Litbang Depag dan LP3ES, Guru Marzuki termasuk eksponen dalam jaringan ulama Betawi yang sangat menonjol di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bersama lima tokoh ulama Betawi lainnya, yaitu: KH. Moh. Mansur (Guru mansur) dari Jembatan Lima , KH. Abdul majid (Guru Majid) dari Pekojan , KH. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gongangdia , KH. Mahmud Romli (Guru mahmud) dari Menteng , dan KH. Abdul Mughni (Guru Mughni) dari Kuningan-Jakarta Selatan .
Guru Marzuki beserta kelima ulama terkemuka Betawi yang hidup sezaman ini memang berhasil melebarkan pengaruh keulamaan dan intelektualitas mereka yang menjangkau hampir seluruh wilayah Batavia (Jakarta dan sekitarnya). Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh “enam pendekar-ulama Betawi” hasil gemblengan ulama haramain inilah yang kelak menjadi salah satu pilar kekekuatan mereka sebagai kelompok ulama yang diakui masyarakat dan telah berjasa menelurkan para ulama terkemuka Betawi selanjutnya. Wafatnya Guru Marzuki —rahimahullah wa ardhahu— wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353 H. Pemakaman beliau dihadiri oleh ribuan orang, baik dari kalangan Habaib, Ulama dan masyarakat Betawi pada umumnya, dengan shalat jenazah yang diimami oleh Habib Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1388/1968) .
Di masa hidupnya, Guru Marzuki dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang sufi, da’i dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah; hari-hari beliau tidak lepas dari mengajar, berdakwah, mengkaji kitab-kitab dan berzikir kepada Allah swt. Salah satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang puteranya, KH. Muhammad Baqir, dengan judul Fath Rabbil-Bâqî fî Manâqib al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî.
SYEKH MUHAMMAD ALI AL-MALIKI
(1287 – 1367 H/1870 – 1948 M)
Nama lengkap beliau adalah “Muhammad Ali bin Husain bin Ibrahim bin Husain bin ‘Abid al-Makki al-Maliki, berasal dari keturunan Maroko yang lahir dan menetap di Mekah. Syekh Muhammad Ali al-Maliki dikenal sebagai “Mahaguru pada masanya” (Syaikh masyayikh ‘ashrihi), dan karena kepakarannya yang tak tertandingi dalam bidang gramatika bahasa Arab, dijuluki sebagai “Sibawaihi zamannya” (Sibawaihi zamânihi).
Syekh Al-Maliki dilahirkan di kota Mekah pada tahun 1287 H/1870 M dan meninggal di kota Tha’if pada tahun 1367 H/1948. Di antara guru-guru yang membekalinya ilmu-ilmu keagamaan dan tatabahasa Arab adalah saudaranya sendiri yang saat itu menjabat sebagai mufti mazhab Maliki di Mekah, Syekh Abid bin Husain al-Maliki (w. 1292 H) . Di samping menguasai fikih Maliki, beliau juga mendalami dan menguasai fikih Syafi’i di bawah bimbingan seorang faqih shufi, Syeikh Sayyid al-Bakri Syatta (lahir 1310 H), pengarang kitab I‘anah ath-Thalibin, sebuah kitab fikih Syafi’i yang menjadi buku daras di berbagai pesantren di Indonesia, termasuk di Pesantren Tinggi Attaqwa.
Guru-guru Syekh al-Maliki yang lain adalah Syekh Abdul Haq al-Alahabadi, Syekh Muhammad Khudeir ad-Dimyati, Syekh Abdullah al-Qaddumi an-Nabulsi, Syekh Muhammad Abdul Baqi al-Luknawi, Syekh Abdul Hayyi al-Kattani, dan ulama-ulama Haramain lainnya. Silsilah sanad periwayatan hadits dan jaringan inteletual Syekh Ali al-Maliki telah ditulis dan diabadikan secara lengkap oleh salah seorang muridnya, Syekh Muhammad Yasin al-Fadani (w. 1410/1990), seorang pakar hadits terkemuka asal Nusantara yang diberi gelar “Musnid ad-Dunya”, dengan judul “al-Maslak al-Jaliyy fi Asânîd Fadhilah as-Syaikh Muhammad Ali al-Maliki” (“Jalan Terang tentang Sanad-sanad Yang Mulia Syekh Muhammad Ali al-Maliki”).
Setelah menamatkan pelajarannya di bawah bimbingan para ulama Haramain terkemuka di masanya, Syekh al-Maliki mendermakan ilmu dan hidupnya mengajar di Masjidil Haram dan Madrasah Darul Ulum, Mekah, yang didirikan oleh ulama-ulama haramain asal Melayu-Nusantara, dan menjabat sebagai pimpinan para syekh (Syaikhul Masyayikh) sejak pertama kali madrasah tersebut berdiri pada tahun 1933 . Kepakarannya di berbagai bidang ilmu-ilmu keislaman dan tata-bahasa Arab, menjadi magnet tersendiri bagi para pelajar Arab dan non-Arab —bahkan tidak sedikit yang sudah bergelar ulama— yang datang berguru kepadanya. Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hampir seluruh ulama Hijaz dan para penuntut ilmu dari Melayu-Nusantara (yang mencakup Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan dan Brunei) yang menjadi muridnya.
Di antara ulama-ulama besar Hijaz yang menjadi muridnya adalah: Syekh Hasan al-Masysyat (w. 1399 H), Syekh Alwi bin Abbas al-Maliki (w. 1391 H) , Syekh Muhammad Amin al-Kutbi (w. 1404 H) , dll. Adapun murid-murid beliau yang berasal dari Indonesia (baik yang kembali ke tanah air maupun yang memilih menetap di Mekah) , antara lain: Syekh Muhsin al-Musawa (w. 1354 H.) , “Enam Pendekar-Kiyai Betawi” (Guru Mansur, Guru Majid, Guru Romli, Guru Marzuki, dan Guru Mughni), Musnid ad-Dunya Syekh Muhammad Yasin al-Fadani (w. 1990) , KH. Noer Alie (w. 1992 M.), KH. Muhammad Syarwani Abdan (Guru Bangil) dari Martapura, Kalimantan (w. 1989 M.), Tuan Guru KH. M. Zainuddin Abdul Majid (pendiri Nahdlatul-Wathan) Pancor, NTB (w. 1997 M.), dll.
Kepakaran dan Aktivitasnya
Sebelum menjabat sebagai pimpinan para syekh (Syaikul Masyayikh) madrasah Darul Ulum sejak pertama kali didirikan pada tahun 1933, Syekh al-Maliki telah menjabat sebagai mufti mazhab Maliki di Mekah menggantikan saudara tua yang juga gurunya, Syekh Abid al-Maliki, tahun 1921. Kendatipun inisiasi resminya dengan mazhab Maliki, Syekh Muhammad Ali al-Maliki juga dikenal sebagai pakar dalam fikih Syafi’i, hasil gemblengan Syekh Umar Syatta ad-Dimyati, saudara dari Usman Syatta al-Bakri ad-Dimyati, seorang pakar fikih Syafi’i dan pengarang kitab fikih I‘anah ath-Thalibîn yang menjadi rujukan pesantren-pesantren di Indonesia.
Keluasan ilmu fikih lintas mazhab Ahlussunnah (terutama mazhab yang empat) membuatnya terhindar dari fanatisme sempit mazhab-fikih yang tercermin dalam salah satu karyanya Inthishâr al-I‘tishâm bi Mu‘tamad Kulli Madzhab min Madzâhib al-A’immah al-A‘lâm (“Pembelaan Objektif atas Pendapat-pendapat Otoritatif Seluruh Mazhab Imam-Imam Besar”). Karya-karyanya yang lain di yang menunjukkan kepakarannya di bidang fikih dan ushul fikih sebenarnya cukup banyak, antara lain: At-Taqrîrât ‘ala Syarh al-Muhallâ, Tahdzib al-Furûq lil-Qarâfi, al-Hawâsyî as-Saniyyah ‘ala Qawânîn Ibn Jizziy al-Mâlikî (ketiganya dalam bidang ushul fikih mazhab Maliki), dan Hawâsyi ‘ala al-Asybâh wan-Nazhâ’ir lis-Suyûthî (dalam bidang ushul fikih mazhab Syafi’i).
Kendatipun keluasan ilmu fikihnya yang menyebabkan keluwesan dalam menyikapi berbagai perbedaan fikih-furu‘iyyah inter-Ahlussunnah waljamaah, Syekh al-Maliki dikenal tegas dalam hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip akidah-ushuliyyah. Untuk menjaga akidah Ahlussunah wal-jamaah dari berbagai upaya penyimpangan di bidang akidah, ia misalnya telah menulis secara khusus bantahan atas aliran Ahmadiyah dengan judul Al-Qawâthi‘ al-Burhaniyyah fi Bayân Ifki Ghulâm Ahmad wa Atbâ‘ihi al-Qâdiyâniyyah (“Bukti-bukti Meyakinkan tentang Kebohongan Mirza Ghulam Ahmad dan Para Pengikut Aliran Qâdiyâniyyah”).
Tulisannya mengenai penyimpangan akidah Ahmadiyah yang berpusat di Qadiyan dan Lahore —suatu aliran yang muncul dan berkembang jauh di luar Semenanjung Arabia di mana al-Maliki hidup— menyiratkan bahwa Syekh al-Maliki bukanlah tipe intelektual “menara gading” yang masa bodo terhadap persoalan-persoalan keumatan, baik dalam skala nasional, regional dan internasional. Kepeduliannya terhadap perkembangan umat Islam dalam skala internasional, misalnya, tampak jelas ketika ia bersama murid seniornya, Muhammad al-Amin al-Kutbi, termasuk di antara ulama yang disowani dan dimintakan pendapat oleh Abul Hasan an-Nadawi, seorang tokoh intelektual Muslim asal India yang memiliki reputasi internasional, ketika an-Nadawi berkunjung ke Mekah pada tahun 1947. Kepedulian al-Maliki terhadap kondisi umat dan dunia Muslim boleh jadi telah muncul sebagai hasil dari kunjungan yang pernah dilakukannya ke berbagai negara Asia —termasuk Indonesia dan wilayah Melayu-Nusantara— pada tahun 1343 dan tahun 1345 H. Petunjuk lain tentang kepedulian al-Maliki atas pelbagai permasalahan umat dapat dibaca dari ulasan-ulasan yang dituangkannya dalam satu karya yang berjudul Fatâwâ an-Nawâzil al-‘Ashriyyah (Fatwa-fatwa tentang Pelbagai Masalah Kontemporer).
Selain fikih dan akidah, bidang keilmuan lain yang digeluti Syekh al-Maliki adalah disiplin ilmu-ilmu hadits (dirayah dan riwayah). Kepakaran di bidang yang satu ini sangat tampak ketika ia, bersama Syekh Umar Hamdan (w. 1368 H) —rekannya yang juga salah seorang guru KH. Noer Ali— menjadi salah seorang mata rantai terpenting periwayatan hadits (isnad) Musnid ad-Dunya, Syekh Muhammad Yasin al-Fadani. Oleh karenanya, Syekh al-Maliki termasuk salah satu mata rantai sanad para pakar hadits Mekah yang terpenting, sebagaimana tercatat dalam karya al-Fadani “An-Nafhah al-Miskiyyah fil-Asânîd al-Makkiyyah” (“Hembusan Aroma Misik tentang Isnad-isnad Mekah”). Bahkan periwayatan melalui jalur Syekh al-Maliki dicatat tersendiri oleh al-Fadani dalam karyanya al-Maslak al-Jaliyy fi Asânîd Fadhilah as-Syaikh Muhammad Ali al-Maliki (“Jalan Terang tentang Sanad-sanad Yang Mulia Syekh Muhammad Ali al-Maliki”).
Kecuali itu, tentu saja kita tidak dapat mengabaikan kepakaran Syekh Ali al-Maliki dalam bidang gramatika dan sastera Arab (nahwu, sharaf, balaghah, arudh, qawafî) yang turut membentuk kepakaran KH. Noer Ali dalam bidang ini. Gelar “Sibawaih pada masanya” (Sibawaihi zamânihî) yang disandang al-Maliki adalah sebentuk pengakuan para ulama atas kepakarannya di bidang ini. Dua jilid bukunya tentang gramatika bahasa Arab dengan judul “Tadrîb ath-Thullâb fi Qawâ‘id al-I‘râb”, masih membuat decak kagum para pengkajinya.
Harmonisasi Syariat dan Tasawuf
Bidang keilmuan lain yang digeluti oleh Syekh Al-Maliki —juga hampir seluruh ulama-ulama Haramain pada masanya— adalah disiplin tasawuf. Sebagaimana dimaklumi, melalui adikaryanya Ihyâ’ ‘Ulumid-Dîn, Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) telah mampu secara memuaskan mengkombinasikan aspek eksoterik (syari’ah) dan esoterik (tasawuf) dalam Islam; sehingga harmonisasi antara syari’ah dan haqiqah, fikih dan tasawuf menjadi mainstream atau —dalam istilah Azra: great tradition— corak keagamaan dan keilmuan di hampir seluruh dunia Islam setelah kemunculan tokoh yang digelari “Hujjatul Islam” (Bukti Kebenaran Islam) ini. Bahkan Dr. Tawfiq at-Thawîl dalam kajiannya mengenai tasawuf di masa Imperium Khilafah Usmaniyah yang runtuh pada tahun 1924, menulis, bahwa sampai akhir masa imperium Ottoman yang berpusat di Turki yang cakupan wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh dunia Islam (termasuk Hijaz), harmonisasi antara disiplin fikih dan tasawuf menjadi corak utama keagamaan dan intelektual dunia Arab-Islam pada masa itu. Menurut Dr. Hasan Asy-Syâfi‘î, harmonisasi ini tampak misalnya dalam karya-karya hampir semua tokoh intelektual di dunia Islam yang hidup pada masa itu yang, karena kecenderungan praktek fikih yang dibalut dengan penghayatan sufi mereka, salah satu gelar akademik yang kerap disandang para ulama kala itu adalah “Faqih, Muhaddits, Shufî” (Pakar Fikih dan Hadits serta Pegiat Tashawwuf). Untuk menyebut di antara ulama yang memiliki gelar akademik seperti itu, kita bisa menyuguhkan beberapa nama, misalnya, Abdul Wahab asy-Sya‘rani (w 973 H) di Mesir; Abdul Ghani an-Nabulsi (w. 1143 H) di Syam; Shah Waliyullah ad-Dahlawi (w. 1176 H) yang meneruskan pemikiran pendahulunya Ahmad as-Sirhindi (1034 H) di India; Ahmad ad-Dardîrî, pendiri tarekat al-Khalwati (w. 1201 H.) di Mesir; Muhammad Ali as-Sanusi (w. 1275 H), pendiri tarekat Sanusiah yang melahirkan seorang tokoh sufi-mujahid, Umar Mukhtar (1349 H) di Libia; dan —tidak ketinggalan— Nuruddin ar-Râniri (w. 1076/1666), Abdul Rauf as-Sinkili (w. 1105/1693) dan Yusuf al-Maqassari (1111/1699) di Indonesia ; serta yang lainnya.
Kecenderungan harmonisasi syariat dan tasawuf ala Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali yang, dalam jaringan intelektual ulama-ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad 17 mengkristal pada sosok Ibrahim al-Kurani dan Ahmad al-Qusysyasi (tiga murid mereka asal Indonesia adalah Ar-Raniri, Al-Sinkili dan al-Maqassari), terus bergulir di abad-abad selanjutnya. Tokoh ulama seperti Syekh Ahmad Zaini Dahlan , Mufti Syafi’iyyah di Mekah al-Mukarramah yang berhasil mencetak ulama-ulama selanjutnya (seperti Muhammad Abid al-Maliki, Abu Bakar Syatta ad-Dimyati dari Arab; dan Mahfuzh at-Termasi dari Indonesia), mereka semua termasuk dalam jaringan intelektual yang mendukung harmonisasi syariat dan tasawuf. Dan corak intelektual seperti inilah yang kemudian dipraktekkan oleh Syekh Ali al-Maliki dan KH. Hasyim Asy‘ari (pendiri NU, kolega Syekh Ali al-Maliki yang bersama-sama menjadi murid Syekh Abid al-Maliki) , yang kemudian terus dilanjutkan oleh para ulama abad 19/20, termasuk “enam pendekar-ulama Betawi”, KH. Noer Alie, KH. Abdullah Syafi‘i, Tuan Guru KH. Zainuddin, dan ulama-ulama Indonesia lainnya.
Kembali kepada Syekh Ali al-Maliki. Hubungan K.H. Noer Ali dengan guru yang satu ini memang agak lebih istimewa dibandingkan dengan guru-gurunya yang lain di Haramain. Keistimewaan itu terlihat karena Guru Marzuki yang juga murid Syekh Ali al-Maliki, diduga kuat telah merekomendasikan KH. Noer Alie untuk melanjutkan pelajarannya langsung di bawah bimbingan Syekh al-Maliki yang pernah menjadi gurunya di Mekah. Kecuali itu, keistimewaan Syekh al-Maliki bagi KH. Noer Alie juga terlihat dari beberapa ijazah hizb dan wirid yang didapatkannya langsung dari Syekh Ali al-Maliki. Ijazah (sertifikasi) wirid dan hizb ini menunjukkan inisiasi Syekh Ali al-Maliki dan para ulama di masanya pada tasawuf-sunni —lawan dari tasawuf falsafi— yang berupaya mengharmonisasikan antara aspek lahiriah-eksoteris (syariat) dan zuhud-esoteris (hakikat), suatu upaya yang kemudian diikuti dengan setia oleh murid-muridnya, termasuk KH. Noer Alie dan para murid beliau yang setia.
Wallâhu A‘lam.* * *
BIBLIOGRAFI:
Ad-Dahlawi, Shah Waliyullah, Hujjatullâh al-Bâlighah, Cairo: Dar at-Turats, 1355 H.
Al-Azhîmabâdi, Muhammad Asyraf, ‘Aunul Ma‘bûd Syarh Sunan Abi Dawud, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, cetakan I, 1415 H.
Al-Baghdadi, Isma‘îl, Hadiyyatul ‘Ârifîn, dalam digital library: al-Maktabah asy-Syâmilah versi 2.
Al-Fâdânî, Muhammad Yasîn, An-Nafhah al-Miskiyyah fil-Asânîd al-Makkiyyah, Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1990.
Al-Kattani, Abdul Hayy, Fihris al-Fahâris, dalam digital library: al-Maktabah asy-Syâmilah versi 2.
An-Nadawi, Abul Hasan, al-Imam ad-Dahlawi, Kuwait: Darul Qalam, 1996.
An-Nadawi, Abul Hasan, al-Imam as-Sirhindi Hayâtuhû wa A‘mâluhû, Kuwait: Darul Qalam, 1994.
An-Nadawi, Muhammad Thariq, Abul Hasan an-Nadawi Rabbani al-Ummah, dalam Al-Mu‘jam al-Jâmi‘ fi Tarâjim al-‘Ulamâ’ wa Thalabatil-‘Ilmi al-Mu‘âshirîn, dalam digital library: al-Maktabah asy-Syâmilah versi 2.
An-Najjâr, ‘Âmir (Dr.), Ath-Thuruq ash-Shûfiyyah fi Misr, Dar al-Ma‘ârif, cet. VI, 1995.
Ash-Sha‘îdî, Abdul Muta‘al, al-Mujaddidûn fil Islam min al-Qarnil Awwal ila al-Râbi‘ ‘Asyar, Cairo: Maktabah al-Adab, 1996.
Asy-Syâfi‘î, Hasan (Dr.) et. al, Fi at-Tashawwuf al-Islâmî, Cairo: Dar ats-Tsaqafah al-‘Arabiyah, 1996.
Ath-Thawaîl, Tawfiq (Dr.), At-tashawwuf fi Misr Ibbâna ‘ashril Utsmânî, Mesir: Maktabah al-I‘timâd, 1946.
At-Taftazânî, Abul Wafâ (Dr.), Madkhal Ila at-Tashawwuf al-Islâmî, Cairo: Dar ats-Tsaqafah, 1979.
Az-Zirikli, Khairuddin, al-A‘lâm (Qâmûs Tarâjim li Asyhar al-Rijâl wa an-Nisâ’ minal ‘Arab wal Musta‘rabîn wal-Mustasyriqîn, dalam digital library: al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.
Aziz, Abdul (MA), Islam dan Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.
Azra, Azyumardi (Dr.), Jaringan Ulama Timteng dan Nusantara abad 17 dan 18, Bandung: Mizan, 1994.
Fadli, Ahmad, Ulama Betawi (Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20), abstrak thesis M.A. Universitas Indonesia, tidak diterbitkan.
Jabbar, Umar Abdul, Siyâr wa Tarâjim Ba‘dhi ‘Ulamâ’ina fil Qarni ar Râbi‘ ‘Asyara lil-Hijrah, Saudi, t.p.,t.t.
Kuhalah, Muhammad Ridha, Mu‘jam al-Mu’allifîn, dalam digital library: al-Maktabah asy-Syâmilah versi 2.
Mamduh, Mahmud Sa‘id, Tasynîf al-Asmâ‘ bi Syuyukh al-Ijâzah wa al-Simâ‘, Cairo: Mathba‘ah Dâr asy-Syabâb, 1984.
Rasyid, Daud (Dr), Juhûd ‘Ulamâ Indonesia fi as-Sunnah, disertasi Fak. Darul Ulum, Cairo University, tahun 1996, supervisor: Prof. Dr. M. Nabil Ghanaim.
Sezkin, Ilyas, Mu‘jam al-Mathbû‘ât, dalam digital library: al-Maktabah asy-Syâmilah versi 2.
(Upaya melacak jaringan Ulama KH. Noer Alie)
Penulis : H. Irfan Mas'ud, MA*)
KH. AHMAD MARZUKI AL-BETAWI
(1293 – 1353 H/1876 – 1934 M)
Nama lengkap beliau adalah “Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman al-Batawi”. Ulama terkemuka asal Betawi yang bermazhab Syafi’i dan populer dengan sebutan Guru Marzuki ini lahir dan besar di Batavia (Betawi). Ayahnya, Syekh Ahmad al-Mirshad, merupakan keturunan keempat dari kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang berhijrah ke Batavia. Guru Marzuki dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 1293 H/1876 M di Meester Cornelis, Batavia.
Masa Pertumbuhan dan Menuntut Ilmu
Pada saat berusia 9 tahun, Guru Marzuki ditinggal wafat ayahnya. Pengasuhannya pun beralih ke tangan ibunya yang dengan penuh kasih sayang membina sang putra dengan baik. Pada usia 12 tahun, Marzuki dikirim oleh sang ibu kepada seorang ahli fikih bernama Haji Anwar untuk memperdalam Al-Qur'ân dan ilmu-ilmu dasar bahasa Arab. Guru Marzuki kemudian melanjutkan pelajarannya mengaji kitab-kitab klasik (turats) dibawah bimbingan seorang ulama Betawi, Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Melihat ketekunan dan kecerdasan Marzuki-muda, sang guru pun merekomendasikannya untuk berangkat ke Mekah al-Mukarramah guna menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Guru Marzuki yang saat itu berusia 16 tahun pun kemudian bermukim di Mekah selama 7 tahun.
Guru-guru di Haramain
Selama tidak kurang dari 7 tahun, hari-harinya di Tanah Suci dipergunakan Guru Marzuki dengan baik untuk beribadah dan menimba ilmu dari para ulama terkemuka di Haramain. Ulama Haramain yang sempat membimbing Guru Marzuki, antara lain: Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan al-Madani (w. 1329 H.), Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami (w. 1354 H.), Syekh Abdul karim al-Daghistani, Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bogori (w. 1349 H), Syekh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi (w. 1337 H.), Syekh Umar al-Sumbawi, Syekh Mahfuzh al-Termasi (w. 1338 H.), Syekh Sa’id al-Yamani (w. 1352 H), Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi (w. 1331 H.), Syekh Muhammad Ali al-Maliki (w. 1367 H.) dan lain-lain.
Ilmu yang dipelajarinya pun bermacam-macam, mulai dari nahwu, shorof, balaghah (ma‘ani, bayan dan badi‘), fikih, ushul fikih, hadits, mustholah hadits, tafsir, mantiq (logika), fara’idh, hingga ke ilmu falak (astronomi). Dalam bidang tasawuf, guru Marzuki memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-‘Alawiyah dari Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi (w. 1331 H.) yang memperoleh silsilah sanad tarekatnya dari Syekh Ahmad Zaini Dahlan (w. 1304 H/1886 M.), Mufti Syafi’iyyah di Mekah al-Mukarramah.
Dalam disertasi doktoralnya di Fak. Darul Ulum, Cairo University (hal. 63 – 66), Daud Rasyid memasukkan Guru Marzuki sebagai salah seorang pakar hadits Indonesia yang sangat berjasa dalam penyebaran hadits-hadits nabi di Indonesia dan menjaga transmisi periwayatan sanadnya.
Sistem Mengajar dan Para Muridnya
Sesudah kembali ke tanah air, atas permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki mengajar di masjid Rawabangke selama lima tahun, sebelum pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Santri yang mondok di sini memang tidak banyak, ditaksir sekitar 50 orang dan terutama datang dari wilayah utara dan timur Jakarta (termasuk Bekasi).
Cara mengajar Guru Marzuki kepada muridnya tidak lazim di masa itu, yaitu sambil berjalan di kebun dan berburu bajing (tupai). Ke mana sang guru melangkah, ke sana pula para murid mengikutinya dalam formasi berkelompok. Setiap kelompok murid biasanya terdiri dari empat atau lima orang yang belajar kitab yang sama, satu orang di antaranya bertindak sebagai juru baca. Sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setiap satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang belajar kitab lain lagi menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya.
Mengajar dengan cara duduk hanya dilakukan oleh Guru Marzuki untuk konsumsi masyarakat umum di masjid. Meskipun demikian, anak-anak santrinya secara bergiliran membacakan sebagian isi kitab untuk sang guru yang memberi penjelasan atas bacaan muridnya itu. Para juru baca itu kelak tumbuh menjadi ulama terpandang di kalangan masyarakat Betawi dan sebagian mereka membangun lembaga pendidikan yang tetap eksis sampai sekarang, seperti KH. Noer Alie (pendiri Pesantren Attaqwa, Bekasi), KH. Mukhtar Thabrani (pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi), KH. Abdul malik (putra Guru Marzuki), KH. Zayadi (pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender), KH. Abdullah Syafi’i (pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Jatiwaringin), KH. Ali Syibromalisi (pendiri Perguruan Islam Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta), KH. Abdul Jalil (tokoh ulama dari Tambun, Bekasi), KH. Aspas (tokoh ulama dari Malaka, Cilincing), KH. Mursyidi dan KH. Hasbiyallah (pendiri perguruan Islam al-Falah, Klender), dan ulama-ulama lainnya. Selain KH. Abdul Malik (Guru Malik), putera-putera Guru marzuki yang lain juga menjadi tokoh-tokoh ulama, seperti KH. Moh. Baqir (Rawabangke), KH. Abdul Mu’thi (Buaran, Bekasi), KH. Abdul Ghofur (Jatibening, Bekasi).
Guru Marzuki dan Jaringan Ulama Betawi
Dalam kajian Abdul Aziz, MA., peneliti Litbang Depag dan LP3ES, Guru Marzuki termasuk eksponen dalam jaringan ulama Betawi yang sangat menonjol di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bersama lima tokoh ulama Betawi lainnya, yaitu: KH. Moh. Mansur (Guru mansur) dari Jembatan Lima , KH. Abdul majid (Guru Majid) dari Pekojan , KH. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gongangdia , KH. Mahmud Romli (Guru mahmud) dari Menteng , dan KH. Abdul Mughni (Guru Mughni) dari Kuningan-Jakarta Selatan .
Guru Marzuki beserta kelima ulama terkemuka Betawi yang hidup sezaman ini memang berhasil melebarkan pengaruh keulamaan dan intelektualitas mereka yang menjangkau hampir seluruh wilayah Batavia (Jakarta dan sekitarnya). Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh “enam pendekar-ulama Betawi” hasil gemblengan ulama haramain inilah yang kelak menjadi salah satu pilar kekekuatan mereka sebagai kelompok ulama yang diakui masyarakat dan telah berjasa menelurkan para ulama terkemuka Betawi selanjutnya. Wafatnya Guru Marzuki —rahimahullah wa ardhahu— wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353 H. Pemakaman beliau dihadiri oleh ribuan orang, baik dari kalangan Habaib, Ulama dan masyarakat Betawi pada umumnya, dengan shalat jenazah yang diimami oleh Habib Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1388/1968) .
Di masa hidupnya, Guru Marzuki dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang sufi, da’i dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah; hari-hari beliau tidak lepas dari mengajar, berdakwah, mengkaji kitab-kitab dan berzikir kepada Allah swt. Salah satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang puteranya, KH. Muhammad Baqir, dengan judul Fath Rabbil-Bâqî fî Manâqib al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî.
* * * *
SYEKH MUHAMMAD ALI AL-MALIKI
(1287 – 1367 H/1870 – 1948 M)
Nama lengkap beliau adalah “Muhammad Ali bin Husain bin Ibrahim bin Husain bin ‘Abid al-Makki al-Maliki, berasal dari keturunan Maroko yang lahir dan menetap di Mekah. Syekh Muhammad Ali al-Maliki dikenal sebagai “Mahaguru pada masanya” (Syaikh masyayikh ‘ashrihi), dan karena kepakarannya yang tak tertandingi dalam bidang gramatika bahasa Arab, dijuluki sebagai “Sibawaihi zamannya” (Sibawaihi zamânihi).
Syekh Al-Maliki dilahirkan di kota Mekah pada tahun 1287 H/1870 M dan meninggal di kota Tha’if pada tahun 1367 H/1948. Di antara guru-guru yang membekalinya ilmu-ilmu keagamaan dan tatabahasa Arab adalah saudaranya sendiri yang saat itu menjabat sebagai mufti mazhab Maliki di Mekah, Syekh Abid bin Husain al-Maliki (w. 1292 H) . Di samping menguasai fikih Maliki, beliau juga mendalami dan menguasai fikih Syafi’i di bawah bimbingan seorang faqih shufi, Syeikh Sayyid al-Bakri Syatta (lahir 1310 H), pengarang kitab I‘anah ath-Thalibin, sebuah kitab fikih Syafi’i yang menjadi buku daras di berbagai pesantren di Indonesia, termasuk di Pesantren Tinggi Attaqwa.
Guru-guru Syekh al-Maliki yang lain adalah Syekh Abdul Haq al-Alahabadi, Syekh Muhammad Khudeir ad-Dimyati, Syekh Abdullah al-Qaddumi an-Nabulsi, Syekh Muhammad Abdul Baqi al-Luknawi, Syekh Abdul Hayyi al-Kattani, dan ulama-ulama Haramain lainnya. Silsilah sanad periwayatan hadits dan jaringan inteletual Syekh Ali al-Maliki telah ditulis dan diabadikan secara lengkap oleh salah seorang muridnya, Syekh Muhammad Yasin al-Fadani (w. 1410/1990), seorang pakar hadits terkemuka asal Nusantara yang diberi gelar “Musnid ad-Dunya”, dengan judul “al-Maslak al-Jaliyy fi Asânîd Fadhilah as-Syaikh Muhammad Ali al-Maliki” (“Jalan Terang tentang Sanad-sanad Yang Mulia Syekh Muhammad Ali al-Maliki”).
Setelah menamatkan pelajarannya di bawah bimbingan para ulama Haramain terkemuka di masanya, Syekh al-Maliki mendermakan ilmu dan hidupnya mengajar di Masjidil Haram dan Madrasah Darul Ulum, Mekah, yang didirikan oleh ulama-ulama haramain asal Melayu-Nusantara, dan menjabat sebagai pimpinan para syekh (Syaikhul Masyayikh) sejak pertama kali madrasah tersebut berdiri pada tahun 1933 . Kepakarannya di berbagai bidang ilmu-ilmu keislaman dan tata-bahasa Arab, menjadi magnet tersendiri bagi para pelajar Arab dan non-Arab —bahkan tidak sedikit yang sudah bergelar ulama— yang datang berguru kepadanya. Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hampir seluruh ulama Hijaz dan para penuntut ilmu dari Melayu-Nusantara (yang mencakup Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan dan Brunei) yang menjadi muridnya.
Di antara ulama-ulama besar Hijaz yang menjadi muridnya adalah: Syekh Hasan al-Masysyat (w. 1399 H), Syekh Alwi bin Abbas al-Maliki (w. 1391 H) , Syekh Muhammad Amin al-Kutbi (w. 1404 H) , dll. Adapun murid-murid beliau yang berasal dari Indonesia (baik yang kembali ke tanah air maupun yang memilih menetap di Mekah) , antara lain: Syekh Muhsin al-Musawa (w. 1354 H.) , “Enam Pendekar-Kiyai Betawi” (Guru Mansur, Guru Majid, Guru Romli, Guru Marzuki, dan Guru Mughni), Musnid ad-Dunya Syekh Muhammad Yasin al-Fadani (w. 1990) , KH. Noer Alie (w. 1992 M.), KH. Muhammad Syarwani Abdan (Guru Bangil) dari Martapura, Kalimantan (w. 1989 M.), Tuan Guru KH. M. Zainuddin Abdul Majid (pendiri Nahdlatul-Wathan) Pancor, NTB (w. 1997 M.), dll.
Kepakaran dan Aktivitasnya
Sebelum menjabat sebagai pimpinan para syekh (Syaikul Masyayikh) madrasah Darul Ulum sejak pertama kali didirikan pada tahun 1933, Syekh al-Maliki telah menjabat sebagai mufti mazhab Maliki di Mekah menggantikan saudara tua yang juga gurunya, Syekh Abid al-Maliki, tahun 1921. Kendatipun inisiasi resminya dengan mazhab Maliki, Syekh Muhammad Ali al-Maliki juga dikenal sebagai pakar dalam fikih Syafi’i, hasil gemblengan Syekh Umar Syatta ad-Dimyati, saudara dari Usman Syatta al-Bakri ad-Dimyati, seorang pakar fikih Syafi’i dan pengarang kitab fikih I‘anah ath-Thalibîn yang menjadi rujukan pesantren-pesantren di Indonesia.
Keluasan ilmu fikih lintas mazhab Ahlussunnah (terutama mazhab yang empat) membuatnya terhindar dari fanatisme sempit mazhab-fikih yang tercermin dalam salah satu karyanya Inthishâr al-I‘tishâm bi Mu‘tamad Kulli Madzhab min Madzâhib al-A’immah al-A‘lâm (“Pembelaan Objektif atas Pendapat-pendapat Otoritatif Seluruh Mazhab Imam-Imam Besar”). Karya-karyanya yang lain di yang menunjukkan kepakarannya di bidang fikih dan ushul fikih sebenarnya cukup banyak, antara lain: At-Taqrîrât ‘ala Syarh al-Muhallâ, Tahdzib al-Furûq lil-Qarâfi, al-Hawâsyî as-Saniyyah ‘ala Qawânîn Ibn Jizziy al-Mâlikî (ketiganya dalam bidang ushul fikih mazhab Maliki), dan Hawâsyi ‘ala al-Asybâh wan-Nazhâ’ir lis-Suyûthî (dalam bidang ushul fikih mazhab Syafi’i).
Kendatipun keluasan ilmu fikihnya yang menyebabkan keluwesan dalam menyikapi berbagai perbedaan fikih-furu‘iyyah inter-Ahlussunnah waljamaah, Syekh al-Maliki dikenal tegas dalam hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip akidah-ushuliyyah. Untuk menjaga akidah Ahlussunah wal-jamaah dari berbagai upaya penyimpangan di bidang akidah, ia misalnya telah menulis secara khusus bantahan atas aliran Ahmadiyah dengan judul Al-Qawâthi‘ al-Burhaniyyah fi Bayân Ifki Ghulâm Ahmad wa Atbâ‘ihi al-Qâdiyâniyyah (“Bukti-bukti Meyakinkan tentang Kebohongan Mirza Ghulam Ahmad dan Para Pengikut Aliran Qâdiyâniyyah”).
Tulisannya mengenai penyimpangan akidah Ahmadiyah yang berpusat di Qadiyan dan Lahore —suatu aliran yang muncul dan berkembang jauh di luar Semenanjung Arabia di mana al-Maliki hidup— menyiratkan bahwa Syekh al-Maliki bukanlah tipe intelektual “menara gading” yang masa bodo terhadap persoalan-persoalan keumatan, baik dalam skala nasional, regional dan internasional. Kepeduliannya terhadap perkembangan umat Islam dalam skala internasional, misalnya, tampak jelas ketika ia bersama murid seniornya, Muhammad al-Amin al-Kutbi, termasuk di antara ulama yang disowani dan dimintakan pendapat oleh Abul Hasan an-Nadawi, seorang tokoh intelektual Muslim asal India yang memiliki reputasi internasional, ketika an-Nadawi berkunjung ke Mekah pada tahun 1947. Kepedulian al-Maliki terhadap kondisi umat dan dunia Muslim boleh jadi telah muncul sebagai hasil dari kunjungan yang pernah dilakukannya ke berbagai negara Asia —termasuk Indonesia dan wilayah Melayu-Nusantara— pada tahun 1343 dan tahun 1345 H. Petunjuk lain tentang kepedulian al-Maliki atas pelbagai permasalahan umat dapat dibaca dari ulasan-ulasan yang dituangkannya dalam satu karya yang berjudul Fatâwâ an-Nawâzil al-‘Ashriyyah (Fatwa-fatwa tentang Pelbagai Masalah Kontemporer).
Selain fikih dan akidah, bidang keilmuan lain yang digeluti Syekh al-Maliki adalah disiplin ilmu-ilmu hadits (dirayah dan riwayah). Kepakaran di bidang yang satu ini sangat tampak ketika ia, bersama Syekh Umar Hamdan (w. 1368 H) —rekannya yang juga salah seorang guru KH. Noer Ali— menjadi salah seorang mata rantai terpenting periwayatan hadits (isnad) Musnid ad-Dunya, Syekh Muhammad Yasin al-Fadani. Oleh karenanya, Syekh al-Maliki termasuk salah satu mata rantai sanad para pakar hadits Mekah yang terpenting, sebagaimana tercatat dalam karya al-Fadani “An-Nafhah al-Miskiyyah fil-Asânîd al-Makkiyyah” (“Hembusan Aroma Misik tentang Isnad-isnad Mekah”). Bahkan periwayatan melalui jalur Syekh al-Maliki dicatat tersendiri oleh al-Fadani dalam karyanya al-Maslak al-Jaliyy fi Asânîd Fadhilah as-Syaikh Muhammad Ali al-Maliki (“Jalan Terang tentang Sanad-sanad Yang Mulia Syekh Muhammad Ali al-Maliki”).
Kecuali itu, tentu saja kita tidak dapat mengabaikan kepakaran Syekh Ali al-Maliki dalam bidang gramatika dan sastera Arab (nahwu, sharaf, balaghah, arudh, qawafî) yang turut membentuk kepakaran KH. Noer Ali dalam bidang ini. Gelar “Sibawaih pada masanya” (Sibawaihi zamânihî) yang disandang al-Maliki adalah sebentuk pengakuan para ulama atas kepakarannya di bidang ini. Dua jilid bukunya tentang gramatika bahasa Arab dengan judul “Tadrîb ath-Thullâb fi Qawâ‘id al-I‘râb”, masih membuat decak kagum para pengkajinya.
Harmonisasi Syariat dan Tasawuf
Bidang keilmuan lain yang digeluti oleh Syekh Al-Maliki —juga hampir seluruh ulama-ulama Haramain pada masanya— adalah disiplin tasawuf. Sebagaimana dimaklumi, melalui adikaryanya Ihyâ’ ‘Ulumid-Dîn, Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) telah mampu secara memuaskan mengkombinasikan aspek eksoterik (syari’ah) dan esoterik (tasawuf) dalam Islam; sehingga harmonisasi antara syari’ah dan haqiqah, fikih dan tasawuf menjadi mainstream atau —dalam istilah Azra: great tradition— corak keagamaan dan keilmuan di hampir seluruh dunia Islam setelah kemunculan tokoh yang digelari “Hujjatul Islam” (Bukti Kebenaran Islam) ini. Bahkan Dr. Tawfiq at-Thawîl dalam kajiannya mengenai tasawuf di masa Imperium Khilafah Usmaniyah yang runtuh pada tahun 1924, menulis, bahwa sampai akhir masa imperium Ottoman yang berpusat di Turki yang cakupan wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh dunia Islam (termasuk Hijaz), harmonisasi antara disiplin fikih dan tasawuf menjadi corak utama keagamaan dan intelektual dunia Arab-Islam pada masa itu. Menurut Dr. Hasan Asy-Syâfi‘î, harmonisasi ini tampak misalnya dalam karya-karya hampir semua tokoh intelektual di dunia Islam yang hidup pada masa itu yang, karena kecenderungan praktek fikih yang dibalut dengan penghayatan sufi mereka, salah satu gelar akademik yang kerap disandang para ulama kala itu adalah “Faqih, Muhaddits, Shufî” (Pakar Fikih dan Hadits serta Pegiat Tashawwuf). Untuk menyebut di antara ulama yang memiliki gelar akademik seperti itu, kita bisa menyuguhkan beberapa nama, misalnya, Abdul Wahab asy-Sya‘rani (w 973 H) di Mesir; Abdul Ghani an-Nabulsi (w. 1143 H) di Syam; Shah Waliyullah ad-Dahlawi (w. 1176 H) yang meneruskan pemikiran pendahulunya Ahmad as-Sirhindi (1034 H) di India; Ahmad ad-Dardîrî, pendiri tarekat al-Khalwati (w. 1201 H.) di Mesir; Muhammad Ali as-Sanusi (w. 1275 H), pendiri tarekat Sanusiah yang melahirkan seorang tokoh sufi-mujahid, Umar Mukhtar (1349 H) di Libia; dan —tidak ketinggalan— Nuruddin ar-Râniri (w. 1076/1666), Abdul Rauf as-Sinkili (w. 1105/1693) dan Yusuf al-Maqassari (1111/1699) di Indonesia ; serta yang lainnya.
Kecenderungan harmonisasi syariat dan tasawuf ala Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali yang, dalam jaringan intelektual ulama-ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad 17 mengkristal pada sosok Ibrahim al-Kurani dan Ahmad al-Qusysyasi (tiga murid mereka asal Indonesia adalah Ar-Raniri, Al-Sinkili dan al-Maqassari), terus bergulir di abad-abad selanjutnya. Tokoh ulama seperti Syekh Ahmad Zaini Dahlan , Mufti Syafi’iyyah di Mekah al-Mukarramah yang berhasil mencetak ulama-ulama selanjutnya (seperti Muhammad Abid al-Maliki, Abu Bakar Syatta ad-Dimyati dari Arab; dan Mahfuzh at-Termasi dari Indonesia), mereka semua termasuk dalam jaringan intelektual yang mendukung harmonisasi syariat dan tasawuf. Dan corak intelektual seperti inilah yang kemudian dipraktekkan oleh Syekh Ali al-Maliki dan KH. Hasyim Asy‘ari (pendiri NU, kolega Syekh Ali al-Maliki yang bersama-sama menjadi murid Syekh Abid al-Maliki) , yang kemudian terus dilanjutkan oleh para ulama abad 19/20, termasuk “enam pendekar-ulama Betawi”, KH. Noer Alie, KH. Abdullah Syafi‘i, Tuan Guru KH. Zainuddin, dan ulama-ulama Indonesia lainnya.
Kembali kepada Syekh Ali al-Maliki. Hubungan K.H. Noer Ali dengan guru yang satu ini memang agak lebih istimewa dibandingkan dengan guru-gurunya yang lain di Haramain. Keistimewaan itu terlihat karena Guru Marzuki yang juga murid Syekh Ali al-Maliki, diduga kuat telah merekomendasikan KH. Noer Alie untuk melanjutkan pelajarannya langsung di bawah bimbingan Syekh al-Maliki yang pernah menjadi gurunya di Mekah. Kecuali itu, keistimewaan Syekh al-Maliki bagi KH. Noer Alie juga terlihat dari beberapa ijazah hizb dan wirid yang didapatkannya langsung dari Syekh Ali al-Maliki. Ijazah (sertifikasi) wirid dan hizb ini menunjukkan inisiasi Syekh Ali al-Maliki dan para ulama di masanya pada tasawuf-sunni —lawan dari tasawuf falsafi— yang berupaya mengharmonisasikan antara aspek lahiriah-eksoteris (syariat) dan zuhud-esoteris (hakikat), suatu upaya yang kemudian diikuti dengan setia oleh murid-muridnya, termasuk KH. Noer Alie dan para murid beliau yang setia.
Wallâhu A‘lam.* * *
BIBLIOGRAFI:
Ad-Dahlawi, Shah Waliyullah, Hujjatullâh al-Bâlighah, Cairo: Dar at-Turats, 1355 H.
Al-Azhîmabâdi, Muhammad Asyraf, ‘Aunul Ma‘bûd Syarh Sunan Abi Dawud, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, cetakan I, 1415 H.
Al-Baghdadi, Isma‘îl, Hadiyyatul ‘Ârifîn, dalam digital library: al-Maktabah asy-Syâmilah versi 2.
Al-Fâdânî, Muhammad Yasîn, An-Nafhah al-Miskiyyah fil-Asânîd al-Makkiyyah, Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1990.
Al-Kattani, Abdul Hayy, Fihris al-Fahâris, dalam digital library: al-Maktabah asy-Syâmilah versi 2.
An-Nadawi, Abul Hasan, al-Imam ad-Dahlawi, Kuwait: Darul Qalam, 1996.
An-Nadawi, Abul Hasan, al-Imam as-Sirhindi Hayâtuhû wa A‘mâluhû, Kuwait: Darul Qalam, 1994.
An-Nadawi, Muhammad Thariq, Abul Hasan an-Nadawi Rabbani al-Ummah, dalam Al-Mu‘jam al-Jâmi‘ fi Tarâjim al-‘Ulamâ’ wa Thalabatil-‘Ilmi al-Mu‘âshirîn, dalam digital library: al-Maktabah asy-Syâmilah versi 2.
An-Najjâr, ‘Âmir (Dr.), Ath-Thuruq ash-Shûfiyyah fi Misr, Dar al-Ma‘ârif, cet. VI, 1995.
Ash-Sha‘îdî, Abdul Muta‘al, al-Mujaddidûn fil Islam min al-Qarnil Awwal ila al-Râbi‘ ‘Asyar, Cairo: Maktabah al-Adab, 1996.
Asy-Syâfi‘î, Hasan (Dr.) et. al, Fi at-Tashawwuf al-Islâmî, Cairo: Dar ats-Tsaqafah al-‘Arabiyah, 1996.
Ath-Thawaîl, Tawfiq (Dr.), At-tashawwuf fi Misr Ibbâna ‘ashril Utsmânî, Mesir: Maktabah al-I‘timâd, 1946.
At-Taftazânî, Abul Wafâ (Dr.), Madkhal Ila at-Tashawwuf al-Islâmî, Cairo: Dar ats-Tsaqafah, 1979.
Az-Zirikli, Khairuddin, al-A‘lâm (Qâmûs Tarâjim li Asyhar al-Rijâl wa an-Nisâ’ minal ‘Arab wal Musta‘rabîn wal-Mustasyriqîn, dalam digital library: al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.
Aziz, Abdul (MA), Islam dan Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.
Azra, Azyumardi (Dr.), Jaringan Ulama Timteng dan Nusantara abad 17 dan 18, Bandung: Mizan, 1994.
Fadli, Ahmad, Ulama Betawi (Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20), abstrak thesis M.A. Universitas Indonesia, tidak diterbitkan.
Jabbar, Umar Abdul, Siyâr wa Tarâjim Ba‘dhi ‘Ulamâ’ina fil Qarni ar Râbi‘ ‘Asyara lil-Hijrah, Saudi, t.p.,t.t.
Kuhalah, Muhammad Ridha, Mu‘jam al-Mu’allifîn, dalam digital library: al-Maktabah asy-Syâmilah versi 2.
Mamduh, Mahmud Sa‘id, Tasynîf al-Asmâ‘ bi Syuyukh al-Ijâzah wa al-Simâ‘, Cairo: Mathba‘ah Dâr asy-Syabâb, 1984.
Rasyid, Daud (Dr), Juhûd ‘Ulamâ Indonesia fi as-Sunnah, disertasi Fak. Darul Ulum, Cairo University, tahun 1996, supervisor: Prof. Dr. M. Nabil Ghanaim.
Sezkin, Ilyas, Mu‘jam al-Mathbû‘ât, dalam digital library: al-Maktabah asy-Syâmilah versi 2.
*)H.Irfan Mas'ud adalah cucu KH. Noer Alie dari pasangan Drs. H. Mas'ud Abdullah dan Hj. Sholihah Noer, MA. Beliau pernah belajar di Cairo Mesir (1990) dan sekarang Dosen Pascasarjana UIN Jakarta.