Apa yang menjadi visi dan Misi Pondok Modern Gontor Darussalam, Ponorogo Jatim, tidak jauh berbeda apa yang menjadi harapan dan cita-cita Almaghfurlah KH. Noer Alie saat estafeta kepemimpinnya dititahkan kepada putra pertamanya KH. Moh. Amin Noer, agar alumni Pondok Pesantren Attaqwa diarahkan bukan hanya sekadar mandiri secara pribadi, melainkan memandirikan lembaganya dan orang lain. Itu sesuai dengan visi Ponpes Attaqwa, Bener, Pinter, Trampil dan Disiplin dengan tujuan mencetak kader-kader umat di daerahnya masing-masing.
Marilah kita bangun kembali ghiroh untuk kembali meluruskan 'khittah' visi dan misi pesantren Attaqwa yang telah di amanahkan Almaghfurlah KH. Noer Alie kepada generasi penerusnya, murid-muridnya, dan guru-guru khususnya kepada pengelola Yayasan Attaqwa agar lebih baik lagi.
Marilah kita berkaca sejenak dan belajar kembali kepada sang maha guru Pondok Modern Gontor seperti apa yang telah dilakukan oleh generasi penerusnya, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi. Berikut adalah aktifitas sehari-hari beliau kepada anak didiknya yang saya kutip dari sumber media Republika.co.id.
Ada kegiatan yang kerap dilakukan KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Di sela-sela kesibukan memimpin Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, ia hampir rutin mengunjungi masjid dan langgar (mushala) binaan yang berada di desa-desa sekitar pesantren. Rutinitas itu dilakukan usai joging pada pagi hari dengan menyusuri persawahan di lingkungan Desa Gontor.
Berkeliling dari desa ke desa, mengamati dari dekat perkembangan tempat binaan tadi. Jumlah masjid serta langgar binaan kini telah mencapai ratusan. Sebagian lantas mendirikan lembaga pendidikan agama, semisal TPA, TK, MTs, atau MA bagi warga sekitar.
Kiai Syukri dengan tanpa kenal lelah mencarikan pendanaan bagi upaya pembangunan serta pengembangan tempat-tempat ibadah binaan tersebut. Berkat jaring an internasional yang luas, bantuan datang dari berbagai negara Islam. Pemberdayaan dan pembinaan masyarakat menjadi perhatian penting Kiai Syukri Zarkasyi.
Baginya, tak cukup hanya di pesantren semua aspek terpenuhi, tetapi ling kungan sekitar juga harus baik. Dan yang dilakukan tokoh kelahiran Ponorogo, 19 September 1942, dengan membina warga sekitar, adalah wujud nyata semangat tadi.
Dijelaskan Kiai Syukri, para santri nantinya akan kembali ke masyarakat sehingga selama di pondok mereka dibekali dengan ilmu, keterampilan, dan karakter kuat. Dengan demikian, mereka mampu berkiprah di mana pun berada. Inilah pendidikan kemandirian.
Para santri mendapat pendidikan, pengajaran, dan pelatihan agar terbangun jiwa mandiri. Mereka diarah kan bukan hanya sekadar mandiri secara pribadi, melainkan memandirikan lembaganya dan orang lain. Itu sesuai dengan visi Pondok Gontor, yakni mencetak kader-kader umat.
Santri senantiasa dilatih, diberi penugasan, dan didi siplinkan. Mereka mengelola unit usaha sendiri di lingkungan pesantren. Guru dan santri kemudian menjaga toko, mengurus sawah, mengelola penggilingan padi, atau pun mengelola pabrik roti.
Terdapat sekitar 32 unit usaha yang ditangani santri dan guru. Hasilnya, hampir Rp 10 miliar per tahun. “Dengan sistem kemandirian dalam bidang ekonomi ini, Pondok Gontor bisa membia yai segala keperluan kependidikan dan kesejahteraan tenaga pengajar dan karyawan, bahkan membantu ekonomi warga sekitar,’’ katanya.
Kiai Syukri berpendapat, pesantren harus menjadi lapangan perjuangan dan hendaknya dilaksanakan dengan kesungguhan. Karena itu, aspek pendidikan serta pelatihan-pelatihan tadi sangat bermanfaat dalam membentuk watak. Dengan bekal tersebut, para alumnus Gontor sanggup berjuang di mana saja.
“Itulah orang besar. Orang besar menurut Gontor adalah yang bersedia mengabdi dan berjuang di masyarakat dengan segala keikhlasannya meski di kampung kecil atau langgar terpencil,’’ tegas dia.
Mereka mengejawantahkan visinya sebagai kader umat. Kader yang bisa bergerak dan menggerakkan, bisa hidup dan menghidupi, serta bisa berjuang dan memperjuangkan. Di mana pun berada, mereka membawa kemaslahatan.
Kini, di berbagai daerah, para alumnus mendirikan BMT, sekolah, ataupun pesantren. Ada pula yang membina masjid dan mushala. Satu hal yang membanggakan. Dari semangat dan keikhlasan para alumnus, telah berdiri sebanyak 211 pondok pesantren.
Lebih jauh, putra pertama salah seorang tokoh pendiri Pondok Modern Gontor, KH Imam Zarkasyi, ini mengharapkan, para alumnus memberikan sumbangsih terbaik bagi masyarakat. Mereka bisa menularkan jiwa kemandirian, keikhlasan, maupun perjuangan, seperti diajarkan di Gontor. Dengan demikian, terwujud sebuah perubahan di tengah umat dan bangsa menuju ke arah lebih baik.
Seiring dengan itu, kepercayaan masyarakat kepada Pondok Modern Gontor semakin besar. Daya tampung di Pondok Gontor 1 yang `hanya' sekitar 4.500 santri tak mencukupi. Karena itu, pada 90-an, Pondok Modern Gontor dikembangkan dengan membuka cabang-cabang baru, semisal Gontor 2, 3, 4, dan seterusnya.
“Pondok Gontor kini sudah ada di sejumlah daerah, harapan kita bisa membangun sebanyak 30 cabang,'' papar Kiai Syukri. Kemudian, ada keinginan sebagian masyarakat untuk memondokkan putrinya. Sesuai pesan pendiri Gontor, jarak putri harus 100 kilometer.
Karena itulah, pondok putri dibangun di Mantingan, Ngawi, pada 1991. Secara keseluruhan, saat ini telah berdiri sekitar 19 cabang Pondok Gontor. Di antaranya terdapat di Aceh, Sulawesi, Lampung, Poso, Kampar, Kediri, Tanjung Jabung, Magelang, dan dengan jumlah santri 22 ribu orang.
Kiai yang sejak muda aktif dalam berbagai organisasi ini sekarang banyak terlibat dalam berbagai lembaga, baik di pemerintahan maupun tidak. Ia tercatat pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ciputat, pengurus Himpunan Pemuda Pelajar Islam (HPPI) Kairo, pengurus Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Den Haag, Belanda, serta Ketua MUI Ponorogo.
Adapun jabatan yang masih dipegang, antara lain ketua umum Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Kementerian Agama, ketua Badan Silaturahim Pondok Pesantren (BSPP) Jawa Timur, ketua MUI Pusat, dan anggota ahli Majlis Tanfidh Rabitah al-Jami'ah al-Islamiyyah al-Alamiyyah, Kaherah, Mesir.
Tak hanya itu, Kiai Syukri banyak mengadakan kunjungan ke berbagai negara untuk keperluan seminar, kunjungan budaya, ataupun studi perbandingan. Dia juga gencar menjalin kerja sama dengan lembaga pendidikan mancanegara, seperti Universitas Al Azhar Kairo, International Islamic University Malaysia, ataupun Al Ahqaf University Yaman.
Bagi dia, segala tugas dan tanggung jawab yang dilaksanakan selama ini adalah demi memberikan ushwatun hasanah.
Berkeliling dari desa ke desa, mengamati dari dekat perkembangan tempat binaan tadi. Jumlah masjid serta langgar binaan kini telah mencapai ratusan. Sebagian lantas mendirikan lembaga pendidikan agama, semisal TPA, TK, MTs, atau MA bagi warga sekitar.
Kiai Syukri dengan tanpa kenal lelah mencarikan pendanaan bagi upaya pembangunan serta pengembangan tempat-tempat ibadah binaan tersebut. Berkat jaring an internasional yang luas, bantuan datang dari berbagai negara Islam. Pemberdayaan dan pembinaan masyarakat menjadi perhatian penting Kiai Syukri Zarkasyi.
Baginya, tak cukup hanya di pesantren semua aspek terpenuhi, tetapi ling kungan sekitar juga harus baik. Dan yang dilakukan tokoh kelahiran Ponorogo, 19 September 1942, dengan membina warga sekitar, adalah wujud nyata semangat tadi.
Dijelaskan Kiai Syukri, para santri nantinya akan kembali ke masyarakat sehingga selama di pondok mereka dibekali dengan ilmu, keterampilan, dan karakter kuat. Dengan demikian, mereka mampu berkiprah di mana pun berada. Inilah pendidikan kemandirian.
Para santri mendapat pendidikan, pengajaran, dan pelatihan agar terbangun jiwa mandiri. Mereka diarah kan bukan hanya sekadar mandiri secara pribadi, melainkan memandirikan lembaganya dan orang lain. Itu sesuai dengan visi Pondok Gontor, yakni mencetak kader-kader umat.
Santri senantiasa dilatih, diberi penugasan, dan didi siplinkan. Mereka mengelola unit usaha sendiri di lingkungan pesantren. Guru dan santri kemudian menjaga toko, mengurus sawah, mengelola penggilingan padi, atau pun mengelola pabrik roti.
Terdapat sekitar 32 unit usaha yang ditangani santri dan guru. Hasilnya, hampir Rp 10 miliar per tahun. “Dengan sistem kemandirian dalam bidang ekonomi ini, Pondok Gontor bisa membia yai segala keperluan kependidikan dan kesejahteraan tenaga pengajar dan karyawan, bahkan membantu ekonomi warga sekitar,’’ katanya.
Kiai Syukri berpendapat, pesantren harus menjadi lapangan perjuangan dan hendaknya dilaksanakan dengan kesungguhan. Karena itu, aspek pendidikan serta pelatihan-pelatihan tadi sangat bermanfaat dalam membentuk watak. Dengan bekal tersebut, para alumnus Gontor sanggup berjuang di mana saja.
“Itulah orang besar. Orang besar menurut Gontor adalah yang bersedia mengabdi dan berjuang di masyarakat dengan segala keikhlasannya meski di kampung kecil atau langgar terpencil,’’ tegas dia.
Mereka mengejawantahkan visinya sebagai kader umat. Kader yang bisa bergerak dan menggerakkan, bisa hidup dan menghidupi, serta bisa berjuang dan memperjuangkan. Di mana pun berada, mereka membawa kemaslahatan.
Kini, di berbagai daerah, para alumnus mendirikan BMT, sekolah, ataupun pesantren. Ada pula yang membina masjid dan mushala. Satu hal yang membanggakan. Dari semangat dan keikhlasan para alumnus, telah berdiri sebanyak 211 pondok pesantren.
Lebih jauh, putra pertama salah seorang tokoh pendiri Pondok Modern Gontor, KH Imam Zarkasyi, ini mengharapkan, para alumnus memberikan sumbangsih terbaik bagi masyarakat. Mereka bisa menularkan jiwa kemandirian, keikhlasan, maupun perjuangan, seperti diajarkan di Gontor. Dengan demikian, terwujud sebuah perubahan di tengah umat dan bangsa menuju ke arah lebih baik.
Seiring dengan itu, kepercayaan masyarakat kepada Pondok Modern Gontor semakin besar. Daya tampung di Pondok Gontor 1 yang `hanya' sekitar 4.500 santri tak mencukupi. Karena itu, pada 90-an, Pondok Modern Gontor dikembangkan dengan membuka cabang-cabang baru, semisal Gontor 2, 3, 4, dan seterusnya.
“Pondok Gontor kini sudah ada di sejumlah daerah, harapan kita bisa membangun sebanyak 30 cabang,'' papar Kiai Syukri. Kemudian, ada keinginan sebagian masyarakat untuk memondokkan putrinya. Sesuai pesan pendiri Gontor, jarak putri harus 100 kilometer.
Karena itulah, pondok putri dibangun di Mantingan, Ngawi, pada 1991. Secara keseluruhan, saat ini telah berdiri sekitar 19 cabang Pondok Gontor. Di antaranya terdapat di Aceh, Sulawesi, Lampung, Poso, Kampar, Kediri, Tanjung Jabung, Magelang, dan dengan jumlah santri 22 ribu orang.
Kiai yang sejak muda aktif dalam berbagai organisasi ini sekarang banyak terlibat dalam berbagai lembaga, baik di pemerintahan maupun tidak. Ia tercatat pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ciputat, pengurus Himpunan Pemuda Pelajar Islam (HPPI) Kairo, pengurus Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Den Haag, Belanda, serta Ketua MUI Ponorogo.
Adapun jabatan yang masih dipegang, antara lain ketua umum Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Kementerian Agama, ketua Badan Silaturahim Pondok Pesantren (BSPP) Jawa Timur, ketua MUI Pusat, dan anggota ahli Majlis Tanfidh Rabitah al-Jami'ah al-Islamiyyah al-Alamiyyah, Kaherah, Mesir.
Tak hanya itu, Kiai Syukri banyak mengadakan kunjungan ke berbagai negara untuk keperluan seminar, kunjungan budaya, ataupun studi perbandingan. Dia juga gencar menjalin kerja sama dengan lembaga pendidikan mancanegara, seperti Universitas Al Azhar Kairo, International Islamic University Malaysia, ataupun Al Ahqaf University Yaman.
Bagi dia, segala tugas dan tanggung jawab yang dilaksanakan selama ini adalah demi memberikan ushwatun hasanah.