Berkutat pada benda-benda usang bagi banyak orang tidaklah menarik, bahkan serasa membosankan. Namun, bagi Ali Anwar Somad, justru menjadi pekerjaan yang mengasyikkan. Dia merasa bertamasya ke masa lalu mengumpulkan serpihan-serpihan kenangan.
“Seluruh dokumentasi KH Noer Ali dan pesantrean Attaqwa saya yang mengurus. Setiap hari berkutat dengan arsip-arsip lama membuat saya serasa lebih dekat dengan sosok Pak Kiai,” ujar Somad, kepala pusat arsip, dokumentasi dan publikasi Yayasan Attaqwa Kabupaten Bekasi.
Tidak mudah merawat benda-benda lawas, apalagi berbentuk kertas dan rekaman kaset tape atau radio. Butuh ketelatenan dan kehati-hatian, sebab waktu telah merapuhkannya. Salah memegang saja, bisa robek dan fatal akibatnya.
Arsip yang ada di perpustakaan Attaqwa berjumlah ribuan, untuk naskah-naskah lawas, Somad bahkan memburunya ke berbagai tempat, dia dengan telaten mengumpulkan satu demi satu.
Saat ini, dokumen yang sangat bernilai tersebut sebagian sudah ditulis ulang agar lebih awet dan mudah menyimpannya. Banyak mahasiswa yang datang untuk membuat skripsi tentang KH Noer Ali dan sejarah Pondok Pesantren Attawa, baik yang berasal dari internal maupun dari luar daerah. Keberadaan pusat data ini tentu sangat berharga.
“KH Noer Alie itu pahlawan nasional, bukan lagi milik keluarga dan Attaqwa saja. Semakin banyak orang yang menulis tentang beliau, maka semakin bagus,” kata pria kelahiran tahun 1955 yang akrab disapa Sekdes, karena dulu pernah didaulat menjadi Sekdes oleh KH Noer Ali.
Hanya saja, ada beberapa kaset rekaman video KH Noer Ali yang nyaris tidak bisa diselamatkan. Dimakan usia, dan sudah berjamur. Somad saat ini mengaku sedang mati-matian menyelamatkan rekaman-rekaman tersebut agar bisa ditransfer ke teknologi yang lebih canggih, namun belum juga menemukan jalan keluar.
“Saya sudah kemana-mana, tapi kebanyakan orang yang saya minta tolong menyerah. Satu-satu jalan harus dibawa ke luar negeri, karena ada teknologi yang bisa membaca pita kaset yang sudah lapuk sekalipun. Tapi anggarannya cukup besar,” kata Somad dengan nada menyesal.
Somad punya kenangan tersendiri kepada figure KH Noer Ali, yang sampai hari ini masih melekat dalam dirinya, yaitu Musik Gambus. Somad menggeluti Gambus sejak masih remaja. Dia menggenang, bahwa musik Gambus pertama kali diperkenalkan oleh KH Noer Ali saat baru pulang dari Tanah Suci. KH Noer Alie memerintahkan kepada aparat kepala desa untuk mengundang grup musik gambus terkenal dari daerah Kemayoran untuk tampil di kantor Desa.
“Waktu itu KH Noer Ali memperkenalkan musik gambus untuk membendung pengaruh kesenian Dombret yang sedang marak. Padahal Dombret lebih cenderung maksiat karena mempertontonkan aurat perempuan,” kenang Somad.
Usai tampil, KH Noer Ali meminta kepada pemimpin grup Gambus tersebut untuk melatih anak-anak muda di Ujung Harapan bermain gambus. Somad, adalah generasi awal yang ikut diminta bergabung dalam grup Gambus tersebut.
“Kalau dulu belajar gambus harus melihat langsung, sekarang sudah banyak kaset rekaman jadi lebih mudah,” kata Somad.
Dalam perkembangannya, selain gambus muncul Kosidah dan terakhir adalah marawis. Di Ujung Harapan sendiri masih ada tiga grup musik yang masih eksis.
“Meskipun harus bersaing dengan organ tunggal, tapi gambus, kosidah dan marawis tetap bertahan di kalangan masyarakat Bekasi,” ujar Somad yang juga penanggungjawab Radio Attaqwa.
Kini Somad hanya menyaksikan kenangan-kenangan tersebut dari ribuan dokumen yang digelutinya setiap hari. Dia berharap, dokumen tersebut bisa beranak-pinak menjadi ribuan buku, yang memberi pencerahan kepada generasi sesudahnya.
“Pesantren adalah benteng terakhir umat, jika pesantren sudah tidak bisa menjaga nilai dan idealismenya, maka bangsa ini akan runtuh. Sejarah telah mencacat peran pesantren yang sangat besar, bukan hanya menyebarkan agama Islam, mendidik generasi penerus, tapi juga ikut berjuang dan membangun,” kata Somad dengan mata berkaca penuh harap. sumber:http://bekasiterkini.com (brat)
“Seluruh dokumentasi KH Noer Ali dan pesantrean Attaqwa saya yang mengurus. Setiap hari berkutat dengan arsip-arsip lama membuat saya serasa lebih dekat dengan sosok Pak Kiai,” ujar Somad, kepala pusat arsip, dokumentasi dan publikasi Yayasan Attaqwa Kabupaten Bekasi.
Tidak mudah merawat benda-benda lawas, apalagi berbentuk kertas dan rekaman kaset tape atau radio. Butuh ketelatenan dan kehati-hatian, sebab waktu telah merapuhkannya. Salah memegang saja, bisa robek dan fatal akibatnya.
Arsip yang ada di perpustakaan Attaqwa berjumlah ribuan, untuk naskah-naskah lawas, Somad bahkan memburunya ke berbagai tempat, dia dengan telaten mengumpulkan satu demi satu.
Saat ini, dokumen yang sangat bernilai tersebut sebagian sudah ditulis ulang agar lebih awet dan mudah menyimpannya. Banyak mahasiswa yang datang untuk membuat skripsi tentang KH Noer Ali dan sejarah Pondok Pesantren Attawa, baik yang berasal dari internal maupun dari luar daerah. Keberadaan pusat data ini tentu sangat berharga.
“KH Noer Alie itu pahlawan nasional, bukan lagi milik keluarga dan Attaqwa saja. Semakin banyak orang yang menulis tentang beliau, maka semakin bagus,” kata pria kelahiran tahun 1955 yang akrab disapa Sekdes, karena dulu pernah didaulat menjadi Sekdes oleh KH Noer Ali.
Hanya saja, ada beberapa kaset rekaman video KH Noer Ali yang nyaris tidak bisa diselamatkan. Dimakan usia, dan sudah berjamur. Somad saat ini mengaku sedang mati-matian menyelamatkan rekaman-rekaman tersebut agar bisa ditransfer ke teknologi yang lebih canggih, namun belum juga menemukan jalan keluar.
“Saya sudah kemana-mana, tapi kebanyakan orang yang saya minta tolong menyerah. Satu-satu jalan harus dibawa ke luar negeri, karena ada teknologi yang bisa membaca pita kaset yang sudah lapuk sekalipun. Tapi anggarannya cukup besar,” kata Somad dengan nada menyesal.
Somad punya kenangan tersendiri kepada figure KH Noer Ali, yang sampai hari ini masih melekat dalam dirinya, yaitu Musik Gambus. Somad menggeluti Gambus sejak masih remaja. Dia menggenang, bahwa musik Gambus pertama kali diperkenalkan oleh KH Noer Ali saat baru pulang dari Tanah Suci. KH Noer Alie memerintahkan kepada aparat kepala desa untuk mengundang grup musik gambus terkenal dari daerah Kemayoran untuk tampil di kantor Desa.
“Waktu itu KH Noer Ali memperkenalkan musik gambus untuk membendung pengaruh kesenian Dombret yang sedang marak. Padahal Dombret lebih cenderung maksiat karena mempertontonkan aurat perempuan,” kenang Somad.
Usai tampil, KH Noer Ali meminta kepada pemimpin grup Gambus tersebut untuk melatih anak-anak muda di Ujung Harapan bermain gambus. Somad, adalah generasi awal yang ikut diminta bergabung dalam grup Gambus tersebut.
“Kalau dulu belajar gambus harus melihat langsung, sekarang sudah banyak kaset rekaman jadi lebih mudah,” kata Somad.
Dalam perkembangannya, selain gambus muncul Kosidah dan terakhir adalah marawis. Di Ujung Harapan sendiri masih ada tiga grup musik yang masih eksis.
“Meskipun harus bersaing dengan organ tunggal, tapi gambus, kosidah dan marawis tetap bertahan di kalangan masyarakat Bekasi,” ujar Somad yang juga penanggungjawab Radio Attaqwa.
Kini Somad hanya menyaksikan kenangan-kenangan tersebut dari ribuan dokumen yang digelutinya setiap hari. Dia berharap, dokumen tersebut bisa beranak-pinak menjadi ribuan buku, yang memberi pencerahan kepada generasi sesudahnya.
“Pesantren adalah benteng terakhir umat, jika pesantren sudah tidak bisa menjaga nilai dan idealismenya, maka bangsa ini akan runtuh. Sejarah telah mencacat peran pesantren yang sangat besar, bukan hanya menyebarkan agama Islam, mendidik generasi penerus, tapi juga ikut berjuang dan membangun,” kata Somad dengan mata berkaca penuh harap. sumber:http://bekasiterkini.com (brat)